Saya melihat salah seorang dari mereka duduk di tengah lingkaran, kemudian berputar-putar sendirian di tempat itu, dilakukan berkali-kali dan tidak beranjak dari tempatnya. Mereka menundukkan kepala ketika memohon pertolongan kepada Syaikh mereka, Jalaluddin Ar-Rumi atau yang lainnya.
1. Yang sangat aneh adalah banyak di antara masjid-masjid di beberapa negeri Islam, termasuk masjid ini, yang menguburkan orang-orang mati di dalam Masjid, mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-oran Yahudi dan Nashrani.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يحذر ما صنعوا ( رواه البخاري )
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kiburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid, perbuatan mereka mendapat peringatan” (HR. Bukhori).
Sholat menghadap ke kuburan juga terlarang, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تجلسوا على القبور, ولا تصلوا إليها ( واه مسلم, أحمد )
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah kalian sholat menghadap kuburan” (HR. Muslim; Ahmad).
Adapun membangun kuburan secara permanent, lengkap dengan kubah, dinding, tulisan dan pengecatan, maka dengarlah larangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu:
نهى أن يخصص القبر وأن يبنى عليه ( رواه مسلم )
“Beliau melarang mengecat kiburan dan mendirikan bangunan di atasnya” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain berbunyi:
نهى أن يكتب على القبر شيء ( رواه الترمذي)
“Beliau melarang menulis sesuatu di atas kuburan” (HR. At-Tirmidzi; Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
2. Menggunakan alat musik di Masjid dan ketika dzikir adalah termasuk perbuatan bid’ah orang-orang shufi yang dantang belakangan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang musik dalam sabdanya:
ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف ( رواه البخاري )
“Akan datang pada ummatku kaum yang menghendaki dihalalkannya zinah, sutrah, khamer, dan alat musik” (HR. Al-Bukhori; Abu Dawud dan di SHAHIH kan oleh Al-Albani dan lain-lain).
Dikecualikan dari alat musik ini, rebana yang dipukul pada hari raya ‘ied atau untuk kaum wanita pada acara pernikahan.
3. Kelompok ini berpindah dari satu Masjid ke Masjid lain untuk mengadakan apa yang mereka namakan An-Naubah yaitu dzikir yang disertai dengan alat musik. Mereka bergadang hingga larut malam, sehingga suara gaduh musik ini mengganggu penduduk daerah itu.
4. Saya mengenal salah seorang diantara mereka,ia memakaikan anaknya topi yang sering dipakai orang-orang kafir. Lalu dengan sembunyi-sembunyi saya mengambil topi itu dan merobeknya. Orang shufi itu tidak menerima perlakuanku dan marah kepadaku. Saya katakana kepadanya:Saya melakukan ini karena rasa ghirahku (=kecemburuan atas dasar Islam) terhadap anakmu yang memakai pakaian ala orang-orang kafir. Lalu saya minta maaf.
Orang Shufi ini memasang tulisan di ruang kerjanya:
يا حضرة مولانا جلال الدين
“ Wahai Hadhrah Maulana Jalaluddin”
Lalu saya bertanya kepadanya: Bagaimana Anda memanggil Syaikh yang tidak mendengar dan tidak mengabulkan permintaan ini?
Dia hanya bisa diam membisu, tidak menjawab.
Inilah kesimpulan tentang Tarekat Mauliyyah.
Sumber: http://abdurrahman.wordpress.com