MACAM-MACAM AIR SERTA TATA CARA MENGHILANGKAN NAJIS
Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh rahimahullah ditanya tentang hukum pakaian wanita bagian bawah yang terkena najis? Jawab: Sama hukumnya dengan alas kaki yang terkena najis kemudian mengenai sesuatu yang kering dan sudi, maka sesuatu yang kering dan suci itu akan mensucikan najis itu, ini adalah pendapat yang kuat.1) Soal: Saya telah berwudlu untuk melakukan sholat, lalu saya membawa seorang bayi, kemudian bayi itu menodai pakaian saya dengan air kencingnya, maka saya mencuci bagian yang terkena air kencing itu lalu saya sholat tanpa mengulangi wudlu. Apakah sholat saya sah? Jawab: Sholat Anda sah, karena air kencing bayi yang mengenai Anda tidak membatalkan wudlu, akan tetapi Anda wajib mencuci noda yang mengenai Anda.2) Soal: Ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, sehingga terkadang pakaiannya terkena air kencing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih? Inti pertanyaan ini adalah tentang bersuci dan sholat serta tentang kerepotan untuk mengganti pakaian setiap waktu. Jawab: Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan, jika bayi laki-laki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci, sedangkan jika bayi itu perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik ia sudah mengkonsumsi makanan ataupun belum. Ketetapan ini bersumber dari hadits yang dikeluarkan oleh Bukhori, Muslim, Abu Daud dan selainnya, sedangkan lafadznya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah mengeluarkan hadits ini dalam sunan-nya dengan sanadnya dari Ummu Qubais bintu Muhshan:”Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum mengkonsumsi makanan datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendudukkan bayi itu di dalam pakuannya, lalu bayi itu kencing pada pakaian beliau, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan air lalu memerciki pakaian itu denga air tanpa mencucinya”. Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibn Majah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: يَغْسِلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلاَمِ “Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan dengan air”. Dan dalam riwayat lain menurut Abu Daud berbunyi: يَغْسِلُ مِنْ بَوْلِ الجَارِيَةِ وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الغُلاَمِ مَا لَمْ يَطْعَمُ “Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika ia belum mengkonsumsi makanan”.3) Soal: Jika pakaian seorang dokter berlumuran air ketuban atau darah (lahiran), maka apakah diperbolehkan melakukan sholat dengan pakaian tersebut karena kesulitan mengganti pakaian di setiap waktu sholat sebagai konsekwensi pekerjaan itu? Jawab: Hendaknya ia menyediakan pakaian suci yang khusus ia gunakan untuk sholat sebagai pengganti pakaian yang terkena najis, dan hal itu bukanlah hal yang menyulitkan baginya.4) Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh rahimahullah ditanya tentang hukum air sisa (mandi, pent) yang telah dipergunakan oleh wanita? Jawab: Sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):”Hadats seorang laki-laki tidak dapat dihapuskan dengan air suci sedikit yang telah dipakai wanita untuk mensucikan diri secara sempurna dari hadats”. Maka menggunakan air ini adalah tidak sempurna, tetapi sebagian besar ulama menyatakan bahwa air yang telah dipergunakan wanita dapat menghilangkan hadats pada tubuh pria berdasarkan hadits dari Maimunah yang berbunyi (artinya): “Bahwa beliau (shalallahu ‘alaihi wa sallam) berwudlu dengan menggunakan air sisa yang telah ia (Maimunah) pergunakan untuk bersuci”. Dan untuk memadukan kedua hadits yang saling bertentangan ini, maka larangan yang terdapat pada hadits yang pertama yaitu larangan yang bersifat untuk dijauhi dan bukan berarti diharamkan.5) Soal: Bagaimanakah yang benar tentang bersucinya seorang pria dengan air sisa yang telah dipakai wanita? Jawab: Perbedaan pendapat dalam masalah ini cukup dikenal, adapun pendapat sebagian besar ulama dan satu diantara dua riwayat Imam Ahmad: Bahwa tidak dilarang bagi seorang pria untuk bersuci dengan menggunakan air sisa bersuci wanita, apakah itu air sisa dia mandi sendiri ataupun bukan, baik untuk mensucikan hadats besar maupun hadats kecil, ini adalah pendapat yang benar dan sesuai dengan hadits tentang mandinya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan menggunakan sisa air yang telah dipergunakan oleh Maimunah, hadits ini adalah yang lebih shahih dari hadits yang melarang seorang pria untuk mandi dengan air sisa yang telah dipergunakan wanita untuk bersuci. Sebagain ahli ilmu menganggap bahwa hadits terakhir ini adalah tidak benar dan bukanlah hadits shahih, jadi hadits seperti yang terakhir ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk membantah adanya dalil syar’I yang bersifat umum yang memerintahkan bersuci dengan air apa saja tanpa pengecualian, maka setiap air yang belum berubah bentuknya karena terkena najis maka air itu termasuk yang umum, dan juga Allah Azza wa Jalla telah berfirman: فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا “lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”(QS. Al-Maidah: 6). Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh bertayamum kecuali jika tidak ada air, dan air sisa dari air yang telah dipergunakan wanita adalah termasuk dalam kategori air, ini adalah suatu hal yang tidak diragukan lagi. Dan Allah Sang pembuat syari’at tidak akan melarang sesuatu tanpa alasan yang jelas (pasti), dan air yang dipergunakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Maimunah ini adalah air yang digambarkan dalam sabda beliau lainnya, yaitu: إِنَّ المَاءَ لاَ يَجْنُبُ “Sesungguhnya air itu tidak junub (dikotori suatu apapun)”. Seandainya seorang pria dilarang untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipergunakan oleh wanita, sementara airnya itu banyak disamping adanya kesulitan (untuk memperoleh air lainnya) karena kondisi umumnya demikian, jika larangan itu memang benar pasti larangan itu akan disampaikan dalam nash-nash shahih yang menerangkan masalah ini. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan pria bersuci dengan air sisa yang telah dipergunakan wanita. Sedangkan riwayat Imam Ahmad lainnya yaitu pendapat yang sangat dikenal oleh ulama muta’akhirin (sekarang, pent) yang melarang seorang pria untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipakai wanita untuk mensucikan hadats, hadits yang mereka mereka pergunakan untuk berdalil adalah hadits yang tidak sah untuk dijadikan dalil dalam masalah ini karena lemahnya hadits ini dan juga bertentangan dengan beberapa dalil-dalil lainnya, demikian juga pengkhususan yang mereka lakukan pada hadats besar saja tidak memiliki dalil yang menunjukkan hal itu.6)
Catatan Kaki: 1) Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad Ibrohim Alu Syaikh 2/92. 2) Fatawa Lajnah Ad-Daimah, 5/286. 3) Idem, 5/368. 4) Idem, 5/384. 5) Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad Ibrohim Alu Syaikh, 2/28. 6) Mujmu’ Al-Kamilah Li Mu’alafat, Syaikh Ibn Sa’di 7/88. Labels: Thoharoh
|